Mengenal Budaya dan Sejarah Wayang Golek
Jum'at, 15 Oktober 2010 15:42 WIB | 654 Views
1. Asal-usul
Asal mula
wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan
lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat
dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan
dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada
tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian
disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan
dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16
Sunan Kudus membuat bangun `wayang purwo` sejumlah 70 buah dengan cerita
Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya
dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya
menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana
halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut
sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak.
Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit
Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut
sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak
dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah
Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran
agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan
Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran
wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah
III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman
(penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung
Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya
semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang
golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di
daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan
masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan
raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang
bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa
Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang
digunakan adalah bahasa Sunda.
2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa
adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana
dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern
seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi
dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik.
Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek
dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U.
Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame.
Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga
menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata,
alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini
menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan
bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun
warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu:
merah, putih, prada, dan hitam.
4. Nilai Budaya
Wayang
golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika
semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para
seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan.
Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman
Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut
merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal
28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut:
Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya.
Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku.
Tiga:
Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau
membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya
kepada masyarakat.
Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah.
Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat.
Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa.
Tujuh:
Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum
Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
Blog Lainnya
REKOMENDASI TEMPAT SLOW LIVING DI PANGANDARAN
Minggu, 02 Maret 2025 10:47 WIB
Hiruk pikuk perkotaan memang menjadi salahsatu penyebab tinggi nya tingkat strees bagi masyarakat, terlebih lagi dengan gaya hidup yang modern di paksa
7 Wisata Edukasi Pangandaran Terbaru 2023
Selasa, 17 Oktober 2023 22:07 WIB
Wisata ke Pangandaran sambil mendapatkan pengalaman edukasi menarik kenapa tidak, beriktut 7 Wisata Edukasi Pangandaran Terbaru 2023
5 Rekomendasi Body Rafting Pangandaran 2023
Selasa, 17 Oktober 2023 22:00 WIB
Body rafting di Pangandaran merupakan salahsatu aktifitas wisata yang paling poluler, namun kalian harus tau rekomendasi Bodyrafting terbaik di Pangandaran di tahun
cagar alam pangandaran
Selasa, 17 Oktober 2023 14:15 WIB
Cagar Alam Pangandaran adalah salah satu surga tersembunyi di Indonesia yang menawarkan keindahan alam yang luar biasa dan keanekaragaman hayati yang memukau.